ABSTRAK: Kapitalisme sekarang (kapitalisme pasca industrial) sangat berbeda dari kapitalisme awal sebagaimana yang pernah disaksikan Karl Marx. Begitu juga dengan prediksi Marx tentang runtuhnya kapitalisme dan atau kapitalisme sedang menggali kuburannya sendiri karena kontradiksi di dalam dirinya, meleset seratus persen. Fakatnya kapitalisme mampu memodifikasi-diri sehingga ia kini tampak lebih “humanis”. Keunggulan memodifikasi diri inilah yang membuatnya kemudian mampu eksis, dan kini melesat masuk serta mengambil bagian di dalam hampir semua lini kehidupan kita, termasuk agama. Tapi betulkah ia kini lebih humanis?
KATA KUNCI: Kapitalisme, Alienasi, Konsumerisme, Pasar, “Agama Pasar”
Prolog
MUNGKIN KARENA kesalnya ia menyaksikan agama telah menjadi semacam “alat” legitimasi perbudakan manusia atas manusia lainnya, Karl Marx pun kemudian menulis, “Religion is the sigh of the oppressed creature, the feelings of a heartless world… It is the opiate of the people.”[i] Bagi sebagian agamawan saat ini, begitu juga dengan umat beragama lainnya, ungkapan Karl Marx tersebut adalah ungkapan filosof materialis yang anti-agama, atau seorang yang atheist—tidak ber-Tuhan. Oleh karena itu, ungkapan tersebut dianggap sebagai ungkapan yang melecehkan agama.
Terlepas dari benar atau tidaknya bahwa ungkapan di atas melecehkan agama, artikel ini tidak berpretensi untuk membela Marx dalam hal pelecehan agama. Akan tetapi, ada satu hal yang patut dipikirkan bersama. Bahwa ketika berbicara soal the oppressed creature, soal exploitation de l’homme par l’homme, soal eksploitasi buruh, soal akumulasi modal, soal penguasaan modal dan alat produksi, dan lain sebagainya; yang mana semua itu bermuara pada satu sistem yang ekonomi mainstream yang bernama kapitalisme, maka, suka atau tidak suka, nama Marx dan kritiknya terhadap kapitalisme, adalah kenyataan sejarah yang patut kita akui dan hargai. Seperti yang akan kita lihat bersama, Marx-lah orang yang pertama menelanjangi kebobrokan kapitalisme yang katanya rasional itu dalam salah satu master-piece-nya yang berjudul Das Kapital. Tentang pentingnya buku ini, Frederick Engels, rekan setia Marx yang memberinya uang selama Marx menulis buku tersebut, menulis: “Selama adanya kaum kapitalis dan kaum buruh di atas bumi, tiada buku yang sedemikian pentingnya bagi kaum buruh seperti buku yang di depan kita ini (Das Kapital—pen). Hubungan modal dan kerja, engsel yang di atasnya seluruh sistem masyarakat sekarang berputar, di sini untuk pertama-kalinya dikupas secara ilmiah dan dengan ketuntasan dan ketajaman yang hanya mungkin bagi seorang Jerman. Betapa pun berharga dan akan tetap berharganya tulisan-tulisan seorang Owen, Saint-Simon, Fourier, ternyata dicadangkan bagi seorang Jerman untuk terlebih dulu naik ke ketinggian dari mana seluruh medan hubungan-hubungan sosial modern dapat dilihat dengan jelas dan selengkapnya presis sebagaimana pemandangan pegunungan yang lebih rendah terlihat oleh seorang pengamat yang berdiri di puncak tertinggi.”[ii]
Kritik Marx Terhadap Kapitalisme Awal
GAMBARAN wajah kapitalisme dalam konsepsi Marx sangat mengerikan. Jika diandaikan seekor monster raksasa, kapitalisme adalah monster raksasa itu yang sedang menggenggam eksistensi manusia dan di saat yang bersamaan, ia pun menggerogotinya sedikit demi sedikit. Anehnya, manusia tidak menyadari keberadaan monster tersebut. Dan yang lebih aneh lagi, manusia tidak menyadari dirinya ketika digerogoti pelan-pelan. Marx, dengan pemikirannya yang tajam, sebetulnya ingin mengingatkan bahaya itu; bahwa kapitalisme menciptakan apa yang disebut keterasingan atau dalam istilah Marx disebut alienasi.
Alienasi adalah salah satu tesis penting dalam pemikiran filosofis Marx. Di kemudian hari, pemikir-pemikir Neo-Marxisme abad dua puluh mengadopsi konsep ini ke dalam kerangka pemikiran mereka masing-masing. Secara istilah, alienasi bisa diartikan sebagai keterasingan dari sesuatu hal. Akan tetapi dalam konsep Marx, alienasi bermakna bahwa pekerja yang notabene menghasilkan barang atau hasil karya justru terasing dari buatannya sendiri. Mengapa demikian?
Sederhananya, seorang tukang yang membuat meja misalnya, akan terasing dari hasil karyanya mengingat meja tersebut harganya jauh lebih mahal dari pada bayaran dia ketika dia memproduksi dan menghasilkan meja tersebut. Kenyataan seperti ini juga berlaku dalam ruang-lingkup kerja yang lebih besar, misalnya di pabrik, perusahaan, dan seterusnya. Jika kita memperhatikan kondisi ini misalnya: katakanlah harga sebuah televisi 24 inc di pasaran berkisar 1 sampai 2 juta. Dalam proses pembuatannya, bisa ditaksir bahwa telah terjadi akumulasi kapital yang sudah dihitung oleh si pemiliki modal; misalnya berapa harga produksi, berapa ongkos pengerjaannya, berapa lama ia dikerjakan, dan berapa ongkos promosinya, dan seterusnya, dan seterusnya. Semua ini terakumulasi ke dalam modal kerja. Buruh yang mengerjakan televisi tersebut katakanlah dibayar 1 juta perbulan. Akan tetapi, si buruh ini tentunya telah menghabiskan waktu setidaknya 10 jam sehari dan enam hari seminggu dalam pengerjaannya. Di sini dapat dilihat bahwa harga televisi tersebut di pasaran telah jauh lebih mahal dari upah si buruh jika dibandingkan waktu dan tenaga yang ia habiskan untuk membuat barang tersebut. Maka, si buruh ini telah terasing dari hasil pekerjaannya alias barang yang ia hasilkan lebih mahal dari “harga” dirinya sebagai pekerja. Inilah yang dimaksud dengan alienasi. Marx menulis, “Nilai si pekerja sebagai modal naik berkesesuaian dengan permintaan dan persediaan, dan bahkan secara fisikal, keberadaannya, hidupnya, adalah dan dipandang sebagai suatu persediaan suatu barang dagangan seperti barang dagangan lainnya. Si pekerja itu memproduksi modal, modal memproduksi dirinya (si pekerja)—karenanya ia memproduksi dirinya sendiri, dan manusia sebagai pekerja, sebagai suatu barang dagangan, adalah produk dari siklus ini. Bagi manusia yang cuma seorang pekerja belaka—dan baginya sebagai seorang pekerja—kualitas-kualitas kemanusiaannya hanya ada sejauh itu berada (eksis) bagi modal yang asing (alien) baginya”[iii]. Walhasil, dalam pandangan Marx, buruh atau pekerja nilai kediriannya tidak lebih dari nilai sebuah barang dagangan di mata kapitalis.
Keterasingan (alienasi) dalam konsep Marx juga sangat berhubungan dengan konsepnya yang lain tentang nilai-lebih. Tentu ini masih berada dalam konteks kerja dan relasi buruh majikan. Nilai-lebih dapat diartikan sebagai tambahan harga dari suatu barang yang dijual, misalnya sebuah pensil dibeli dengan harga Rp. 1000, lalu dijual kembali dengan harga Rp. 1100; Rp. 100 ini adalah nilai-lebih dalam konteks penjualan yang normatif. Bagi Marx, nilai-lebih dalam sistem ekonomi kapitalis sebetulnya tidak sesederhana itu. Pertama-tama, Marx menggaris-bawahi bahwa dalam sisteme produksi kapitalis barang dagangan memiliki nilai-guna atau nilai-pakai[iv]. Nilai-guna ini memunculkan atau menciptakan nilai baru bagi barang dagangan tersebut yaitu tenaga-kerja[v]. Tenaga kerja telah dibeli oleh kapitalis dalam pengertian bahwa ia dibayar untuk memproduksi barang tertentu. Sebetulnya, demikian kata Marx, ketika si kapitalis itu membayar upah kerja si pekerja katakanlah selama seminggu, ia sebetulnya sudah membeli tenaga si pekerja lebih dari yang semestinya ia bayar. Dalam arti kata, meskipun ia membayarnya hanya sehari saja, itu sudah impas dengan produksi yang ia hasilkan. Hanya saja kenyataannya, si pekerja menyerahkan semua tenaga dan waktunya untuk si kapitalis. Enam hari yang lain sebetulnya gratis diambil dan dipakai begitu saja oleh si kapitalis dan si pekerja tidak menyadari bahwa sesungguhnya, kerja-lebih itulah yang menghasilkan apa yang disebut nilai-lebih bagi suatu barang[vi]. Akumulasi modal dalam konteks ini bukan berasal dari membeli dan kemudian menjual dalam pengertian konvensional perdagangan, akan tetapi akumulasi modal berasal dari nilai-lebih dari kerja-lebih yang dipersembahkan oleh pekerja untuk si kapitalis secara cuma-cuma. Inilah yang dimaksud Marx dengan nilai-lebih dalam bukunya Das Kapital. Oleh karena itu, Engels menyatakan bahwa, “…soal pokoknya adalah, bahwa sang kapitalis, di samping kerja yang dibayarnya, juga menarik/mengeduk kerja yang tidak dibayarnya”[vii]. Dalam pandangan Marx, eksploitasi tenaga kerja dalam corak produksi kapitalis bersumber dari sini: bahwa proses kerja terdiri dari: 1). Pekerja berada di bawah kontrol kapitalis; 2). Produk menjadi milik kapitalis karena proses kerja itu telah dimiliki sepenuhnya oleh si kapitalis itu sendiri, yaitu tenaga-kerja dan alat produksi[viii]. Maka dari Engels menilai bahwa, “sebagai suatu proses penciptaan nilai, proses kerja itu menjadi suatu proses produksi nilai-lebih pada saat ia diperpanjang melampaui titik di mana ia menyetorkan suatu ekuivalen (kesetaraan) sederhana untuk nilai tenaga-kerja yang dibayar itu”[ix].
Dialektika Dan Kontradiksi Kelas
SEPERTI yang sudah dijelaskan di atas, Karl Marx (1818-1883) adalah filosof yang menyerang sistem ekonomi (corak produksi) kapitalis atau kapitalisme. Bagi Marx, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang mementingkan akumulasi modal melalui penciptaan nilai-lebih yang dihasilkan oleh sarana produksi dan tenaga kerja yang dikuasai sepenuhnya oleh satu atau beberapa orang. Marx melihat bahwa tenaga kerja adalah modal yang diobyektifikasi namun si pekerja tidak menyadari itu sepenuhnya kecuali hanya menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Di sinilah terjadi apa yang disebut eksploitasi. Marx menulis, “Si pekerja adalah manifestasi subjektif dari kenyataan bahwa modal adalah manusia yang sepenuhnya hilang bagi dirinya sendiri, tepat sebagaimana modal adalah manifestasi objektif dari kenyataan bahwa kerja adalah manusia yang hilang bagi dirinya sendiri. Tetapi kemalangan si pekerja adalah bahwa dirinya adalah suatu modal yang hidup, dan karenanya suatu modal dengan kebutuhan-kebutuhan—modal kehilangan bunganya, dan karena itu kehidupannya, setiap saat ia tidak bekerja”[x].
Proses kerja atau ekonomi adalah sentrum pemikiran filosofis Marx. Maka dari itu, agama, begitu juga ideologi, sistem politik, hukum, sosial dan budaya, demikian Marx menilai, adalah supra-struktur yang ditentukan (dideterminasi) oleh basis-struktur yang bernama ekonomi[xi]. Dalam kalimat lain, ekonomilah fondasi dari semua kesadaran internal (psikis) dan eksternal (fisik) manusia. Begitu juga, seperti apa dan bagaimana wajah sebuah masyarakat ditentukan (dideterminasi) oleh corak produksi (sistem ekonomi) masyarakat tersebut. Para pengkritik Marx menyebutnya determinisme ekonomi. Pendapat Marx tentang ekonomi sebagai fondasi keberadaan dan kesadaran manusia didasarkan pada satu tesis filosofis yang menyatakan bahwa realitaslah yang membentuk kesadaran dan bukan sebaliknya,[xii] sebagaimana yang pernah dirumuskan Hegel. Atas dasar tesis filosofis ini, sistem filsafat Marx disebut materialisme mengingat realitas eksternal tentunya bersifat materi, sementara realitas internal yang bernama kesadaran bersifat abstraksi dari materi. Cara pandang materialisme ini, yaitu pandangan-dunia (world-view) yang menganggap bahwa materilah asas segala sesuatu, sebetulnya sudah pernah dirumuskan oleh Ludwig Fuerbach (1804-1872)[xiii]. Selanjutnya di tangan Marx materialisme ini ditambahkan label ‘historis’ dan ‘dialektis’ di belakangnya, di samping Marx mengklaimnya bersifat ilmiah, yang membedakannya dari Fuerbach. Filsafat model Marx ini selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan materialisme-historis-dialektis. Meskipun demikian, Marx sendiri menggunakan istilah metode dialektika untuk menyebut sistem filsafatnya yang berbeda dari dialektika Hegel[xiv].
Dengan tidak bermaksud untuk mereduksi dan menghilangkan signifikansi rumusan Marx, secara singkat dapat dikatakan bahwa secara teoritis, filsafat materialisme-historis-dialektis berpandangan bahwa proses perkembangan masyarakat, di samping dapat ditelusuri secara historis, juga berkembang dari masyarakat sederhana (primitif), lalu beranjak ke masyarakat yang diwarnai oleh sistem perbudakan, kemudian bergeser menjadi masyarakat yang feodalistik (feodalisme), dan kemudian berkembang menjadi masyarakat yang kapitalistik (kapitalisme). Sementara istilah dialektika pada filsafat marx bersumber dari konsep dialektika Hegel. Akan tetapi menurut Marx, dialektika Hegel sangat abstrak dan tidak-membumi. Oleh karena itu, dialektika tersebut perlu diturunkan ke bawah agar lebih kongkrit. Dialektika dalam konsep Hegel bermakna kontradiksi tesis, anti-tesis, dan sintesis. Secara sederhana, dialektika model Hegel ini dapat dirumuskan seperti ini: ada bertindak sebagai tesis; kemudian dilawankan dengan tiada yang bertindak sebagai antitesis; kontradiksi (pertentangan) antar keduanya (ada dan tiada) kemudian menghasilkan menjadi yang bertindak sintesis[xv]. Demikian seterusnya; sintesis akan selalu menjadi tesis baru. Di tangan Marx, dialektika tetap bermakna logika kontradiksi, hanya saja kontradiksi tersebut lebih nyata, lebih kongkrit, yaitu kontradiksi dua kelas dalam masyarakat: kelas penindas (kapitalis-borjuis) versus kelas tertindas (proletar)[xvi] yang akan melahirkan masyarakat baru.
Selain itu, materialisme yang dialektis, demikian menurut Woods dan Grant, juga berarti proses perubahan, pergerakan, dan perkembangan materi yang terus-menerus, misalnya molekul, atom, dan partikel-partikel sub-atomik yang terus bertukar tempat dalam pergerakannya[xvii]. Dengan demikian, dialektika adalah penjelasan tentang perubahan dan pergerakan yang melibatkan kontradiksi dan hanya melalui kontradiksi, pergerakan dan perubahan akan terjadi[xviii]. Artinya, dalam konteks ini, selain kontradiksi tidak akan ada perubahan dan pergerakan; kontradiksilah sumber perubahan dan pergerakan itu sebagaimana yang terjadi pada fenomena alam, entah itu dalam skup yang paling terkecil, seperti proton-elektron, maupun dalam skup yang paling besar, jagad raya ini[xix]. Semua yang ada, demikian materialisme dialektis berpendapat, adalah gerakan-gerakan materi. Menolak logika formal secara implisit dan sebaliknya menerima logika dialektis secara eksplisit, Woods dan Grant membandingkan keduanya sebagai: yang satu hukum mekanika klasik, yaitu logika formal, dan yang lainnya hukum mekanika kuantum, yaitu logika dialektis. Dengan mengutip Engels, logika dialektika terdiri dari tiga dasar hukum yaitu: 1). hukum peralihan dari kuantitas menjadi kualitas atau sebaliknya; 2). hukum tentang dua kutub berlawanan yang saling merasuki; 3). hukum dari negasi (penolakan) dari negasi[xx]. Dengan kata lain, sejauh ini dapat dicermati bahwa dialektika dalam filsafat Marx adalah hukum kontradiksi yang niscaya terjadi karena pada prinsipnya dunia adalah “sesuatu yang mengalir” alias perubahanlah yang niscaya selalu terjadi. Hanya saja, kontradiksi menurut filsafat sosial Marx adalah kontradiksi kelas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejarah dunia sebetulnya adalah sejarah pertentangan kelas.
Karena kontradiksi tersebut, level masyarakat kapitalis sekarang ini, demikian Marx meyakini, nantinya akan mendorong perkembangan masyarakat selanjutnya, yaitu fase masyarakat yang sosialistis dan komunis (masyarakat komunal). Persoalannya, untuk mencapai fase tersebut, dibutuhkan perjuangan fisik berupa revolusi, yaitu pengambil-alihan sumber-sumber dan alat-alat produksi kapitalis untuk dimanfaatkan secara bersama-sama (kolektif)[xxi]. Inilah harapan kontradiksi kelas itu. Maka tidak heran jika para penganut paham marxisme-leninisme misalnya, berpendapat bahwa hukum materialisme historis adalah kebenaran yang tidak dapat disangkal[xxii]. Oleh sebab itu, demikian para penganut paham marxisme-leninisme meyakini, perjuangan kelas (kontradiksi kelas proletar dengan kelas borjuis kapitalis) tidak dapat dihindari. Kaum buruh, sebagai kelas proletar, dengan kesadaran revolusioner mereka, harus menggulingkan kekuasaan kelas kapitalis. Dan menurut paham marxisme-leninisme, penggulingan kelas kapitalis yang berasal kesadaran kelas yang revolusioner tersebut, hanya dapat dicapai melalui pengorganisasian serikat-serikat buruh yang berada di bawah panji partai yang memiliki kedisiplinan dan kepemimpinan yang bersifat sentralistis[xxiii]. Diktator proletariat yang pernah diterapkan di Soviet adalah cetak-biru dari kepemimpinan sentralistik tersebut. Dalam bahasa yang lebih halus, ia disebut sentralisme-demokrasi. Apapun itu, faktanya bahwa sistem politik dan kepemimpinan yang dicapai oleh perjuangan revolusi kelas ini justru melahirkan kelas elit baru, yang celakanya, justru lebih otoriter dari yang sebelumnya.
Filsafat Marx yang bersifat historis itu diadopsi kemudian oleh generasi Neo-Marxis, yaitu Mazhab Frankfurt (Franfurterschule) seperti Hokheimer, Adorno, Marcuse, dan Habermas. Mazhab Frankfurt menerapkan pentingnya aspek historisitas ke dalam Teori Kritis Emansipatoris mereka (bersikap curiga terhadap zaman, berpikir historis, dan korelasi yang kuat antara teori dan praksis serta fakta dan nilai)[xxiv].
Modifikasi Diri Kapitalisme
KAPITALISME KLASIK telah lama berlalu. Ia kini digantikan oleh kapitalisme tahap selanjutnya atau kapitalisme-pasca industrial[xxv]. Marx, yang dulunya sangat mendambakan momen-momen kehancuran kapitalisme akibat over produksi yang berimbas pada kontradiksi internal sistem kapitalisme itu sendiri, bisa dikatakan meleset seratus persen[xxvi]. Di samping itu, wajah kapitalisme yang menakutkan dan mengerikan itu, sebagaimana yang pernah digambarkan Marx, kini tampak lebih humanis[xxvii]. Terlebih lagi, revolusi sosialis yang pernah dicita-citakan Marx dan Engels sebagai batu loncatan menuju masyarakat komunal (masyarakat komunis) justru tidak pernah terjadi di negara-negara industri, seperti di Eropa Barat dan Amerika. Sebaliknya, analisis ekonomi-politik Marx kemudian hanya menjadi sebentuk ideologi absolut yang melahirkan rezim otoritarianisme yang kekejamannya melebihi kekejaman kapitalisme seperti misalnya yang terjadi pada Lenin, Stalin, dan Mao Tse Tung. Selain itu, himbauan Marx agar kaum buruh sedunia bersatu, kini juga tidak lebih dari sebuah slogan kering, tidak bermakna apa-apa, kecuali tampak seksi ketika diteriakkan oleh demonstrasi buruh di jalan-jalan. Kenyataannya slogan itu tidak merubah apa-apa, padahal Marx pernah berkata bahwa para filsuf hanya menginterpretasikan dunia, padahal yang penting adalah mengubahnya.
Faktanya, kapitalisme menyadari betul arti penting kritik Marx pada awal-awal pertumbuhannya. Kapitalisme mampu memodifikasi-dirinya sehingga sekarang tampak lebih humanis. Eksploitasi sebagaimana dipahami Marx misalnya, sekarang ini bisa dikatakan hampir tidak terjadi lagi. Di negara-negara industri, kesejahteraan buruh kini banyak yang meningkat, di samping waktu kerja yang sangat fleksibel, liburan, serta asuransi-asuransi, begitu juga dengan tabungan hari tua, juga dapat mereka nikmati dengan baik. Kepemilikan saham bersama umpamanya, juga sudah diterapkan di beberapa perusahaan. Dengan kata lain, eksploitasi nyaris sudah tidak terjadi meskipun watak eksploitatif kapitalisme kini bergeser ke arah yang lain. Dalam konteks ini, Marx gagal total.
Menurut para pengkritik Marx, ada perbedaan yang mendasar antara pemikiran Marx awal, yang biasa disebut Marx Muda, dengan pemikiran Marx kemudian, yang biasa disebut Marx Tua. Menurut para pengkritik ini, Marx Muda memperlihatkan atau menampilkan karakter (sosok) Marx sebagai seorang filosof yang humanis, sementara Marx Tua lebih memperlihatkan atau menampilkan karakter Marx sebagai seorang propagandis dan ideolog. Pembedaan Marx Muda dan Marx Tua terutama terjadi karena kelahiran Das Kapital dan Manifesto Komunis. Di samping itu, determinisme ekonomi Marx juga mereduksi faktor-fator emansipasi manusia dalam soal kerja. Yang terakhir ini nantinya dikritik oleh Neo-Marxis.
Bagaimanapun, Marx, melalui pemikiran filosofis ekonomi-politiknya, telah menelanjangi sistem ekonomi kapitalis yang eksploitatif secara vulgar. Terlepas dari berhasil-tidaknya perubahan radikal yang digagas Marx dan Engels dalam manifesto mereka, kapitalisme, sebagai sistem dan kekuatan ekonomi yang mengedepan akumulasi modal, masih terus eksis hingga detik ini. Dan meskipun kapitalisme terkini banyak memperbaiki diri dan karena itu ia kemudian tampak lebih humanis, pertanyaan selanjutnya, apakah emansipasi manusia, atau keterlepasan manusia dari siklus dan belenggu eksploitasi, juga telah hilang bersamaan dengan modifikasi-diri kapitalisme itu?
Kapitalisme Mutakhir: Pasar Dan Konsumerisme
LOGIKA kapitalisme pasca industrial (kapitalisme mutakhir) tidak lagi berkutat pada produksi atau bukan lagi logika produksi. Akan tetapi, logika kapitalisme pasca industrial bekutat pada konsumsi atau logika konsumsi[xxviii]. Dalam bahasa yang lebih lugas, konsumerisme dan pasar adalah dua kata kunci yang terkait dengan perkembangan dan keberadaan kapitalisme pasca industrial.
Pergeseran tata nilai di dalam masyarakat sekarang ini juga banyak disebabkan oleh hegemoni iklim kapitalisme mutakhir. Hampir segala sesuatunya diukur dengan materi, dalam hal ini uang. Paradigma masyarakat secara umum banyak dibentuk oleh materialisasi yang digalakkan oleh iklim kapitalisme mutakhir. Kenyataannya, masyarakat pada umumnya mengukur kesuksesan seseorang dari seberapa banyak materi yang ia miliki. Titik!
Kembali ke soal modifikasi-diri kapitalisme. Dalam pandangan Mazhab Frankfurt, borjuasi modern Amerika telah berhasil menggunakan rasio instrumental (istilah mazhab Frankfurt) untuk melenyapkan krisis internal di dalam tubuh kapitalisme sebagaimana yang pernah diramalkan Marx[xxix]. Kenyataan ini juga menyangkut soal modifikasi-diri kapitalisme atau dalam kalimat lain, kemampuan adaptif kapitalisme sehingga ia tak lekang oleh perkembangan ruang dan waktu. Ironisnya, demikian pandangan Mazhab Frankfurt, kelas pekerja atau buruh yang bertindak sebagai agen revolusi dalam logika Marx dan para penganut paham marxisme lainnya, kelas yang diharapkan bisa menggulingkan kekuasaan kapitalisme, justru telah terintegrasi dengan sendirinya ke dalam sistem kapitalisme itu sendiri secara sukarela[xxx]. Mengapa ini bisa terjadi? Menurut Mazhab Frankfurt, hal itu disebabkan karena kapitalisme mampu mempertahankan kontinuitas keberadaannya melalui penciptaaan budaya konsumerisme. Kemampuan untuk menciptakan budaya konsumerisme disebabkan oleh kelihaian agen-agen kapitalis itu dalam menerapkan rasio instrumental. Dengan menerapkan kemampuan rasio instrumental, kapitalisme pasca industrial mampu menciptakan rasio penyeragaman dan pembendaan kesadaran manusia dengan cara menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu[xxxi]. Rasio instrumental adalah rasio yang memandang realitas sebagai potensi yang dapat dimanipulasi, ditundukkan, dan dikuasai secara total[xxxii]. Secara sederhana, jangkauan dan cara kerja rasio instrumental dapat diilustrasikan seperti ini: seorang investor berjalan-jalan ke pantai Canggu. Sang investor menyaksikan betapa indahnya pemandangan pantai Canggu. Pada saat itu, rasio instrumentalnya pun kemudian bekerja secara simultan; ia mulai mengkalkulasi kira-kira berapa harga lahan di wilayah pantai itu, berapa luas yang ia perlukan, dan memikirkan apa yang cocok untuk dibangun di sana, dan seterus-seterusnya. Setelah itu, ia memanggil semua insinyurnya untuk menghitung berapa besar jumlah investasi yang bisa ditanam di pantai yang indah itu, sekaligus menghitung berapa keuntungan yang bisa ia raup jika investasi itu berjalan. Bahwa kemudian wilayah itu sangat bermanfaat bagi masyarakat setempat, dilindungi oleh perda (peraturan daerah), dan bisa dikatakan sakral bagi masyarakat setempat karena di sekitar itu ada Pura tinggalan leluhur misalnya, semua itu tidak penting. Yang terpenting bagi rasio instrumental saat itu adalah bagaimana wilayah itu ditundukkan dan dikuasai secara total karena di sana ada potensi untuk membangun mesin uang dan kerajaan bisnis properti. Beginilah logika kapitalisme mutakhir itu!
Selain itu, manusia dalam iklim kapitalisme pasca industrial kehilangan otonominya sebagai individu yang merdeka, dan sebaliknya larut ke dalam apa yang disebut massifikasi (budaya massa) yang seleranya sudah lebih dulu ditentukan oleh kepentingan-kepentingan agen yang menciptakan budaya konsumerisme tersebut—kapitalisme. Gahral Adian menulis, “Logika kapitalisme tidak lagi tentang bagaimana cara yang paling efesien memproduksi barang, melainkan bagaiamana sebuah barang dapat dikonsumsi sebanyak-banyaknya”[xxxiii]. Karena itulah kemudian, demikian kata Gahral Adian, logika baru kapitalisme ini menghasilkan agen-agen credit card, periklanan, dan desain[xxxiv].
Konsumerisme sedemikian rupa telah dikonstruksi dengan apik. Dalam konteks ini, pemasaran tentu membutuhkan metode-metode yang jitu untuk menarik minat pembeli secara massif. Di titik ini, diciptakanlah imej-imej (images) atau pencitraan-pencitraan yang menggantikan realitas yang sesungguhnya, dan imej-imej ini dengan sangat mudah dapat dijumpai dan ditemukan di dalam kebudayaan pop (popular culture) saat ini[xxxv]. Tentang imej-imej ini, Roland Barthes memperkenalkan apa yang disebut glamor kultural[xxxvi]. Glamor kultural model Barthes adalah sebentuk gagasan yang menggantikan sebuah objek; dalam arti kata, yang terpenting dalam hal imej-imej adalah gagasan tentang objek, dan bukan objek itu sendiri. Misalnya, iklan-iklan kini menampilkan imej-imej yang mutakhir tentang sebuah barang, katakanlah minuman vitamin C. Visualisasi iklan minuman vitamin C tersebut menampilkan misalnya perempuan cantik dan erotis dalam sebuah suasana yang sangat berkelas. Visualisasi ini menandakan gagasan tentang minuman vitamin C tersebut bahwa minuman itu cocok bagi mereka yang berkelas.
Budaya konsumerisme yang dikonstruksi melalui penciptaan imej dalam iklim atau atmosfir kapitalisme pasca industrial merupakan wahana atau alat untuk memperluas jangkauan pasar. Seperti yang sudah disebutkan di atas, ideologi kapitalisme pasca industrial saat ini adalah bagaimana agar semua manusia di bumi ini bisa (dan harus!) mengkonsumsi produk-produk tertentu sebanyak-banyaknya.
Melalui imej yang disuguhkan di layar TV setiap menit tanpa jeda, begitu juga imej-imej yang disuguhkan di radio-radio, koran-koran, majalah-majalah, brosur-brosur, pamflet-pamflet, spanduk-spanduk, dan baliho-baliho, publik dipaksa untuk mengkonsumsi produk. Tak ada pilihan lain, kecuali membeli, entah produk merek ini atau merek itu. Selera publik pun bisa diciptakan sedemikian rupa. Dalam kalimat lain, seperti apa dan bagaimana mode dan selera hari esok, sudah lebih dulu ditentukan dari ruang produksi, yang diciptakan oleh pakar-pakar pemasaran jebolan dalam dan luar negeri, dan kemudian disebar-luaskan melalui media massa, cetak maupun elektronik.
Dalam iklim konsumerisme yang ganas, publik disodorkan perasaan gengsi akan barang tertentu. Seorang individu yang tidak mengkonsumsi produk tertentu akan merasa terasing dari situasi dan kondisi di mana barang tersebut telah merajai pasaran dan hampir dikonsumsi oleh semua orang. Perempuan berkulit putih misalnya, demikian visualisasi yang sering kita jumpai di televisi setiap menit dan setiap hari, adalah sosok perempuan yang ideal. Visualisasi gagasan tentang perempuan ideal ini ditampilkan terus-menerus tanpa henti sehingga, imej yang tercipta di dalam benak publik secara luas adalah perempuan berkulit putih adalah cantik. Di sini kita bisa temukan imej telah menggantikan realitas yang sesungguhnya. Mengapa? Pertanyaan selanjutnya adalah, lalu bagaimana dengan perempuan yang berkulit sawo matang atau hitam? Itu bukanlah masalah besar karena telah disiapkan krim pemutih cap dodol untuk mengatasi kulit sawo matang dan hitam! Sesungguhnya, orientasi imej perempuan berkulit putih sama dengan cantik nan menawan adalah penjualan krim pemutih cap dodol. Lagi-lagi, di sini kita bisa menemukan logika pasar, bahwa sesungguhnya gagasan tentang krim pemutih itulah yang dibeli dan bukan substansi barang. Contoh ini dapat diperpanjang dengan produk-produk lainnya, entah itu rokok, mobil, properti, sepeda motor, makanan, minuman, pakaian, alat komunikasi, alat transportasi, dan lain sebagainya.
Jika kita mencermati konsep alienasi yang dirumuskan Marx pada periode kapitalisme klasik (awal), sesungguhnya alienasi itu kini tertransformasi ke dalam diri manusia hampir secara umum. Alienasi yang terjadi kini adalah, bahwa konsumerisme telah mengalihkan kesadaran manusia dari kesadarannya yang sebenarnya. Bagaimana tidak? Dalam iklim konsumerisme seperti sekarang ini, keinginan manusia tidak lagi berasal dari dirinya secara utuh dan independen (merdeka), akan tetapi, keinginannya, berikut selera dan eksistensinya, telah digantikan oleh kesadaran massal-kolektif yang diciptakan dan ditentukan oleh agen-agen tertentu yang berasal dari luar dirinya. Dalam konteks ini, alienasi Marx masih relevan adanya meksipun pengertiannya sedikit bergeser. Artinya, alienasi dalam konteks kapitalisme mutakhir adalah sebentuk kesadaran (akan) kebendaan. Kesadaran kebendaan tiada lain kecuali itu dihasilkan dari kebutuhan-kebutuhan palsu. Kebutuhan palsu adalah kebutuhan yang disodorkan berikut imej-imej yang menyertainya. Dengan kata lain, kapitalisme mutakhir menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu yang divisualisasikan melalui imej-imej, sehingga kesadaran manusia yang sebenarnya, kesadaran akan dirinya yang otonom dan bebas secara eksistensial, bergeser menjadi kesadaran kebendaan yang pada akhirnya dibelenggu oleh kesadaran palsu tersebut.
“Agama Pasar” Dan Selebritis Agama
DALAM iklim kapitalisme pasca industrial, batasan yang sakral dan yang profan sudah semakin kabur. Idealnya, agama memiliki dimensi sakral tertentu, entah itu ritualnya, ajarannya, maupun gagasan tentang ketuhanannya. Namun ironisnya, dalam iklim kapitalisme mutakhir (pasca industrial) sekarang ini, sakralitas agama telah diprofankan sedemikian rupa oleh dikte pasar.
Dalam Tajuk Rencana-nya, koran Bali Post menyinggung perlunya kontekstualisasi perayaan Galungan 2008 ini terhadap beberapa hal, dan salah satunya adalah isu agama dan pasar[xxxvii]. Di bagian lain, yakni pada kolom Opini, sebuah artikel yang berjudul Selebritisme Agama Marak, Spritualisme Mati Suri[xxxviii] menyoroti perilaku umat Hindu Bali pada umumnya ketika melakukan ritual-ritual upacara keagamaan yang terkesan lebih menampakkan ritualisme yang berbau “wah”, megah, dan terkesan seperti “pesta”. Dalam opini tersebut, I Gusti Ketut Widana menulis bahwa, “Dalam bahasa yang lebih lugas, ritual yadnya menjadi identik dengan party, membuat pesta: pertama untuk Ida Bhatara dengan berbagai tingkatan “sesajinya” dan kedua dengan porsi yang lebih banyak, enak dan nikmat untuk manusianya dengan “sajian” hidangan masa kini”[xxxix].
Terlepas dari sikap pro-kontra antara melaksanakan upacara keagamaan yang sarananya lebih sederhana ataukah yang sarananya megah, artikel ini tidak berurusan dengan dukung-mendukung salah satu di antaranya. Sebaliknya, konteks artikel adalah untuk menyodorkan sebuah contoh bahwa, dari apa yang disaksikan oleh si penulis tersebut (I Gusti Ketut Widana), ada satu hal yang sekarang sedang terjadi secara fenomenal di masyarakat kita, yaitu pergeseran paradigma dan cara beragama di dalam iklim masyarakat yang dihegemoni oleh kapitalisme mutakhir (pasca industrial).
Saya ingin mengajukan contoh lain selain Hindu di atas. Dalam konteks agama Islam misalnya; idealnya, ritual haji adalah melaksanakan salah satu rukun Islam meskipun hanya sekali seumur hidup. Diktum kitab sucinya menyatakan demikian, di samping seruan bahwa, pelaksanaan ibadah haji hanya diwajibkan bagi mereka yang mampu. Kata mampu dalam konteks ini berada dalam pengertian luas dan sempit, misalnya punya uang yang lebih dari cukup. Persoalannya adalah di beberapa daerah, haji telah menjadi semacam prestise untuk mengingkatkan status sosial seseorang. Seseorang yang telah menyandang predikat haji, secara otomatis akan mendapatkan perlakuan yang lebih di dalam masyarakat, yang berbeda dari perlakuan kepada yang belum menyandang predikat haji di depan namanya. Yang terjadi di sini bukan soal perlakuan lebih itu berhubungan dengan tingkat relijiusitasnya maupun tingkat intelektualitasnya tentang Islam. Akan tetapi, gagasan tentang haji mengutip konsep Barthes, adalah sesuatu yang identik dengan materi atau singkatnya kekayaan. Kenyataan seperti ini bisa kita saksikan misalnya pada masyarakat Bugis, di Sulawesi-Selatan. Di Sulawesi Selatan, haji adalah prestise dan status sosial yang sama sekali tidak berhubungan dengan tingkat relijiusitas dan intelektualitas keagamaan seseorang. Jika misalnya ada sebuah pelaksanaan upacara adat, katakanlah upacara pernikahan, tamu, utamanya yang perempuan, yang tidak melekat simbol-simbol haji di kepalanya, dengan sendirinya akan langsung menuju ke belakang (dapur) untuk mengurusi piring, gelas, dan segala tetek-bengek pesta lainnya. Akan tetapi, jika tamu tersebut datang lengkap dengan atribut-atribut kehajiannya, apalagi jika dilengkapi dengan perhiasan-perhiasan yang dibeli di Mekkah, maka ia akan dipersilahkan duduk di tempat yang lebih tinggi dan dilayani dengan sebaik-baiknya.
Kapitalisme mutakhir bagaimanapun telah mempengaruhi paradigma dan cara beragama manusia saat ini. Di layar televisi kita semua pernah atau sering menyaksikan apa yang sering diistilahkan oleh publik acara “jualan ayat”. AA Gym atau Ustadz Abdullah Gymnastiar, Ustadz Jefry Al-Bukhori, dan Ustadz Yusuf Mansur adalah beberapa nama yang sudah sangat akrab di mata dan telinga para pemirsa televisi. Salahkah orang-orang ini ketika menyampaikan syiar agama melalui layar TV? Tentu tidak. Dengan kata lain, soalnya bukanlah salah atau tidaknya da’i-da’i muda yang berpenampilan menarik ini menggunakan media televisi untuk berceramah. Akan tetapi, bahwa di dalam iklim kapitalisme mutakhir, agama bukanlah soal apa yang seharusnya ia sampaikan kepada masyarakat. Sebaliknya, dalam iklim kapitalisme mutakhir yang berorientasi pada pasar dan konsumerisme itu, agama pun bisa dijadikan wahana atau “alat” atau bisa dikatakan, agama dapat dimanipulasi untuk kepentingan kapital. Yang pertama, iklan-iklan atau reklame-reklame produk tertentu bertebaran di sela-sela acara jualan ayat ini. Artinya, di saat itu bisa dipastikan banyak pemirsa televisi yang sedang menyaksikan acara tersebut. Kedua, acara syiar agama dalam media televisi lebih menampakkan dan menonjolkan aspek entertainnya (hiburan) dari pada aspek instrinsik keagamaannya. Aspek entertain dalam acara agama tentu berbeda dari aspek entertain selain acara agama. Aspek entertain yang melekat pada acara agama bisa dilihat misalnya pada artikulasi penyampaiannya, bobot materi yang disampaikan, dan juga penampilan fisik serta latar-belakang si penyampai. Karena iklim kapitalisme mutakhir juga telah menciptakan semangat pragmatisme yang meluas di dalam masyarakat, maka acara agama yang bersifat entertainlah yang lebih diminati ketimbang acara agama yang tidak bernuansa entertain. Hal ini dapat dibedakan misalnya antara antusiasme pemerisa yang mengikuti acara agama model Ustadz Jefry Al-Bukhori dengan antusiasme pemirsa yang mengikuti acara agama model Dr. M. Quraish Shihab. Selain itu, aspek entertain dalam acara syiar agama juga dicitrakan sedemikian rupa sehingga umumnya da’i-da’i muda yang ditampilkan adalah mereka yang menarik perhatian mata secara fisik. Belum lagi misalnya jika itu dikait-kaitkan dengan latar-belakang sang da’i yang konon kabarnya pernah terjerumus ke lembah maksiat. Semua ini memiliki nilai jual tersendiri. Itulah sebabnya mengapa da’i-da’i muda sangat laris seperti kacang goreng saat ini meskipun apa yang ia sampaikan sebetulnya tidak terlalu dalam sebagaimana ulasan ulama yang betul-betul memiliki kedalaman ilmu agama Islam. Yang terang, da’i-da’i muda yang disebutkan di atas telah memiliki fans-club ibu-ibu tua maupun muda yang sangat luas. Oleh sebab itu, sebutan selebritis agama sangat tepat untuk mereka. (*)
*) Esais, mantan aktifis Gerakan Mahasiswa Sosialis Bali (GMS-Bali) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Denpasar, sedang menempuh studi Filsafat Hindu pada Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia (UNHI), Denpasar – Bali
[i] Dikutip dari Richard T. Schaefer, 1986, Sociology, (Second Edition), Von Hoffmann Press, USA, hal. 332, (Terjemahan bebasnya: “Agama adalah keluh-kesah perasaan tertekan yang diciptakan, perasaan akan sebuah dunia yang hampa… Agama adalah candu masyarakat”—penulis)
[ii] Dikutip dari, Frederick Engels, 2002, Frederick Engels Tentang Das Kapital Marx (On Marx’s Capital), Hasta Mitra, Jakarta, hal. 3
[iii] Karl Marx,, tanpa tahun, Naskah-Naskah Ekonomi dan Filsafat 1844, (Seri Buku Ilmiah), Hasta Mitra, Jakarta, hal. 86; lihat juga, Erich Fromm, 2001, Konsep Manusia Menurut Marx, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 58 – 59
[iv] Frederick Engels, 2002, Frederick Engels Tentang… hal. 6
[v] Ibid
[vi] Ibid
[vii] Ibid
[viii] Ibid, hal. 78
[ix] Ibid, hal. 80
[x] Karl Marx,, tanpa tahun, Naskah-Naskah…, hal. 86
[xi] Lihat misalnya, G. Plekhanov, 2002, Masalah-Masalah Dasar Marxisme, (Seri Buku Ilmiah), Hasta Mitra, Jakarta, hal. 49; George Ritzer-Douglas J. Goodman, 2007, Teori Sosiologi Modern, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 29 – 31; Richard T. Schaefer, 1986, Sociology, Von Hoffmann Press, USA, hal. 13 – 14 dan 18; Frans Magnis-Suseno, 1992, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta, hal. 132; Donny Gahral Adian, 2006, Percik Pemikiran Kontemporer Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra, Yogyakarta, hal. 100 – 102
[xii] G. Plekhanov, 2002, dalam ibid, hal. 38
[xiii] Lihat, Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, 2002, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, Yogyakarta, hal. 400 dan 415; Dr. Harun Hadiwijono, 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, hal. 117
[xiv] Lihat, Erich Fromm, 2001, Konsep Manusia…, hal. 14
[xv] Lihat, Dr. Harun Hadiwijono, 1980, Sari Sejarah…, hal. 99 – 101
[xvi] Lihat, Tan Malaka, 2000, MADILOG, Teplok Press, Jakarta, hal. 140
[xvii] Alan Woods & Ted Grant, 2006, Reason in Revolt Revolusi Berpikir Dalam Ilmu Pengetahuan Modern, IRE Press, Yogyakarta, hal. 39
[xviii] Ibid, hal. 37
[xix] Tan Malaka, 2000, MADILOG…hal. 272 – 274
[xx] Opcit, hal. 41; lihat juga Tan Malaka, 2000, MADILOG…hal. 284 – 287
[xxi] Lihat, bagan “Perkembangan Materialisme Historis”, dalam Thomas Meyer, 2000, Sosialisme Demokratis dalam 36 Tesis, Perubahan Sosial dan Demokrasi, Friedrich Ebert Stiftung, Jakarta, hal. 59
[xxii] Ibid, 57
[xxiii] Ibid, hal. 58
[xxiv] Lihat, Donny Gahral Adian, 2006, Percik Pemikiran Kontemporer Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra, Yogyakarta, hal. 46
[xxv] Donny Gahral Adian, 2006, Percik …, hal. 56 – 64
[xxvi] Lihat, Frans Magnis-Suseno, 1992, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta, hal. 143
[xxvii] Lihat misalnya, Bernard Murchland, 1992, Humanisme dan Kapitalisme Kajian Pemikiran tentang Moralitas, Tiara Wacana, Yogyakarta, hal. 84 – 90 , lihat juga bagian akhir buku ini yang memberikan gambaran integral tentang kapitalisme yang humanistic pada hal. 93 – dst
[xxviii]Donny Gahral Adian, 2006, Percik… hal. 62
[xxix] Ibid, hal. 52
[xxx] Ibid
[xxxi] Ibid, hal. 56 – 57
[xxxii] Ibid, hal. 54
[xxxiii] Ibid, hal. 63
[xxxiv] Ibid
[xxxv] Ibid
[xxxvi] Lihat Richard Harland, 2006, Strukturalisme Pengantar Komprehensif kepada Semiotika, Strukturalisme, dan Postrukturalisme, Jalasutra, Yogayakarta, hal. 74
[xxxvii] Lihat, Bali Post, Selasa Wage, 22 Januari 2008, hal. 7
[xxxviii] Ibid
[xxxix] Ibid